Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan kota yang sepi. Aira duduk di pojok kamar dengan ponselnya tergeletak di meja. Notifikasi pesan dari Liam muncul di layar, tetapi ia hanya menatapnya tanpa niat untuk membalas.
“Kenapa harus seperti ini?” gumamnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Liam adalah seseorang yang baru hadir dalam hidup Aira dua bulan terakhir. Ia pria yang baik, perhatian, dan selalu berusaha membuat Aira tersenyum. Tapi bagi Aira, setiap perhatian itu terasa seperti jebakan—seperti pengulangan dari apa yang pernah ia alami sebelumnya.
***
Tiga tahun lalu, Aira menjalin hubungan dengan seseorang bernama Bima. Bima adalah segalanya bagi Aira: ceria, humoris, dan selalu tahu bagaimana membuat hari-hari Aira lebih berwarna. Mereka bersama selama dua tahun, dan Aira berpikir Bima adalah orang yang akan ia habiskan sisa hidupnya.
Namun, kenyataan tak seindah impian Aira. Suatu malam, ketika ia membuka ponsel Bima untuk mengambil foto mereka bersama, ia menemukan pesan-pesan dari seorang wanita bernama Karin. Pesan itu penuh dengan candaan mesra yang hanya pantas dibagikan oleh pasangan, bukan teman.
“Aira, aku bisa jelasin,” ujar Bima saat itu, tetapi penjelasannya tak pernah cukup.
Kepercayaan Aira hancur seketika. Ia tidak hanya kehilangan pacar, tetapi juga kehilangan keyakinan pada cinta. Setelah malam itu, ia bersumpah untuk tidak lagi memberikan hatinya sepenuhnya kepada siapa pun.
***
Saat Aira bertemu Liam di sebuah acara kantor, ia tidak menyangka pria itu akan mengubah hidupnya. Liam adalah tipe orang yang mudah disukai: ramah, humoris, dan memiliki ketulusan yang jarang Aira temui.
Mereka mulai bertukar pesan, berbicara tentang pekerjaan, hobi, bahkan hal-hal kecil seperti makanan favorit. Liam adalah pendengar yang baik, selalu memperhatikan setiap detail yang Aira ceritakan.
Namun, semakin dekat mereka, semakin besar ketakutan Aira. Ia takut Liam akan menjadi seperti Bima, seseorang yang hanya tampak baik di awal tetapi akhirnya melukai hatinya.
Suatu hari, Liam mengirim pesan yang membuat hati Aira berdebar.
“Aku suka sama kamu, Aira. Aku mau kita lebih dari sekadar teman.”
Aira terdiam lama membaca pesan itu. Hatinya ingin membalas dengan antusias, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan pengkhianatan Bima.
“Aku butuh waktu,” balasnya singkat.
Liam tidak memaksa. “Aku akan menunggu,” jawabnya.
***
Meski mereka terus bertemu dan berbicara, Aira tidak pernah bisa sepenuhnya percaya. Setiap kali Liam terlambat membalas pesan, pikirannya langsung dipenuhi oleh berbagai kemungkinan buruk.
“Dia pasti sedang bersama orang lain,” bisik sebuah suara di kepalanya.
Suatu malam, Liam mengajak Aira makan malam. Saat itu, ia tampak sibuk dengan ponselnya, meskipun masih mencoba berbicara dengan Aira.
“Kamu kelihatannya sibuk,” ujar Aira dengan nada dingin.
“Oh, maaf. Ini cuma rekan kerja yang tanya soal laporan,” jawab Liam sambil tersenyum.
Namun, senyum itu tidak cukup untuk meredakan kecurigaan Aira.
Setelah makan malam, Aira pulang dengan perasaan gelisah. Ia mulai membuka media sosial Liam, mencari tanda-tanda yang mungkin ia lewatkan. Tidak ada yang mencurigakan, tetapi hatinya tetap tidak tenang.
“Kenapa aku seperti ini?” pikirnya sambil menutup laptop.
***
Beberapa hari kemudian, Liam mengajak Aira bertemu di sebuah taman. Hujan baru saja reda, dan aroma tanah basah memenuhi udara.
“Aku merasa ada sesuatu yang mengganggumu,” kata Liam sambil menatap Aira dengan serius. “Aku ingin tahu apa itu.”
Aira terdiam. Ia ingin mengungkapkan segalanya, tetapi rasa malu dan takut membuatnya ragu.
“Aku… hanya butuh waktu,” jawabnya singkat.
Liam menghela napas. “Aku tahu kamu pernah terluka, Aira. Tapi kamu tidak bisa terus-terusan membandingkan aku dengan masa lalumu. Aku bukan dia.”
Kata-kata itu menusuk hati Aira. Ia tahu Liam benar, tetapi rasa takutnya terlalu besar untuk diabaikan.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa percaya lagi,” bisiknya.
Liam meraih tangan Aira dengan lembut. “Aku tidak akan memaksamu untuk percaya sekarang. Tapi aku harap, kamu mau mencoba.”
***
Setelah percakapan itu, Aira mulai merenung. Ia menyadari bahwa masalahnya bukan pada Liam, tetapi pada dirinya sendiri. Luka dari masa lalu telah membuatnya membangun tembok yang begitu tebal hingga ia sulit melihat kebaikan yang ada di hadapannya.
Ia memutuskan untuk mencoba perlahan-lahan. Setiap kali rasa takut atau curiga muncul, ia berusaha untuk menghadapinya dengan rasional. Ia mulai percaya bahwa tidak semua orang akan menyakitinya seperti Bima.
Liam juga bersabar. Ia tidak pernah memaksa Aira untuk berubah dengan cepat, tetapi selalu ada untuk meyakinkannya bahwa ia bisa dipercaya.
“Aku tahu ini tidak mudah untukmu,” kata Liam suatu hari. “Tapi aku di sini, dan aku tidak akan pergi ke mana-mana.”
***
Suatu malam, Liam mengundang Aira ke acara ulang tahun sahabatnya. Aira ragu untuk datang, tetapi akhirnya ia setuju.
Di acara itu, Aira melihat Liam berbicara dengan seorang wanita yang tampak akrab dengannya. Rasa takut dan cemburu langsung menyeruak di hatinya, tetapi ia mencoba menahan diri.
Ketika Liam kembali ke sisinya, Aira tidak bisa menahan diri untuk bertanya. “Siapa dia?”
“Oh, itu Maya. Dia teman SMA-ku. Tidak ada apa-apa, kok,” jawab Liam dengan santai.
Meskipun jawabannya masuk akal, Aira merasa sulit untuk mempercayainya. Namun, kali ini, ia memilih untuk tidak langsung menuduh. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa Liam tidak seperti Bima.
Ketika mereka pulang, Liam menggenggam tangan Aira. “Aku tahu kamu tadi cemas. Tapi aku harap kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah melakukan apa pun untuk menyakitimu.”
Aira menatap Liam dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa kata-katanya tulus.
***
Hubungan Aira dan Liam masih jauh dari sempurna, tetapi mereka terus berusaha. Aira belajar untuk membuka hatinya sedikit demi sedikit, sementara Liam membuktikan bahwa ia layak untuk dipercaya.
Suatu malam, saat mereka duduk bersama di balkon apartemen Liam, Aira berkata, “Terima kasih karena sudah sabar denganku.”
Liam tersenyum dan meraih tangan Aira. “Aku tahu kamu berharga, Aira. Aku akan selalu berusaha untuk membuatmu merasa aman.”
Hati Aira perlahan mulai tenang. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dengan Liam di sisinya, ia yakin ia bisa mengatasi ketakutannya.
***
Cerita Aira mengajarkan bahwa kepercayaan bukanlah sesuatu yang bisa dibangun dalam semalam, terutama ketika hati telah terluka sebelumnya. Namun, dengan kesabaran, pengertian, dan keberanian untuk mencoba, kepercayaan itu bisa tumbuh kembali.
Di bawah langit malam yang penuh bintang, Aira menggenggam tangan Liam dengan erat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa ia bisa melangkah ke depan tanpa bayangan masa lalu mengikutinya.