Dalam Diam, Aku Mencintaimu

Akan selalu ada saat-saat dalam hidup ketika kata-kata tak mampu mengungkapkan apa yang ada di hati. Saat itu, kita hanya bisa diam, memendam perasaan yang begitu besar, berharap bahwa suatu hari orang yang kita cintai bisa merasakannya tanpa perlu mendengar sepatah kata pun. Itulah yang aku rasakan setiap kali berada di dekat Raka.
Raka adalah teman sekelasku sejak SMA. Kami sudah saling mengenal selama bertahun-tahun, namun perasaan yang tumbuh dalam hatiku untuknya baru muncul beberapa bulan setelah lulus. Awalnya, aku tidak menyadari bahwa perasaan itu bisa berkembang begitu dalam. Hanya sepotong senyumnya yang tulus, tawa ringan yang begitu khas, dan cara dia mengerti tanpa banyak bicara yang membuatku jatuh cinta.
Aku, Reina Sarasvati, adalah seorang gadis yang pendiam. Aku tidak pernah pandai berbicara tentang perasaan, apalagi saat itu aku merasa canggung untuk mengungkapkan cinta pada Raka. Kami sudah berteman cukup lama, dan aku tak ingin merusak hubungan persahabatan kami hanya karena perasaan yang mungkin tak pernah terbalas.
Raka, di sisi lain, adalah sosok yang sangat berbeda. Dia mudah bergaul, selalu dikelilingi teman-teman, dan pandai berbicara. Namun, meskipun ia begitu populer, ada kesan bahwa ia selalu mencari sesuatu yang lebih. Suatu hari, kami sedang duduk berdua di taman kampus, ketika dia tiba-tiba bertanya, “Reina, kenapa kamu selalu diam? Kamu tahu nggak sih, kamu itu punya banyak potensi. Cuma, kamu nggak pernah mau menunjukkan itu ke orang lain.”
Aku terkejut, bukan karena dia memperhatikan aku, tetapi karena dia mengungkapkan apa yang selalu kupikirkan. Aku merasa seperti ada sebuah dinding di antara kami yang tak bisa aku tembus. Dinding yang aku bangun sendiri untuk melindungi perasaanku.
“Aku… nggak tahu. Mungkin aku nyaman begitu. Lagipula, aku lebih suka mendengarkan daripada berbicara,” jawabku, mencoba memberikan alasan yang mudah dipahami.

***

Namun, Raka tidak begitu saja berhenti. “Tapi kamu bisa lebih dari itu, Reina. Kamu hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Jangan terlalu banyak berpikir.”
Perkataan itu mengganggu pikiranku selama beberapa hari. Aku ingin sekali bisa menjadi seperti yang dia harapkan, tapi aku tahu hatiku lebih kompleks dari sekadar keinginan untuk tampil di depan orang. Aku ingin dia melihatku bukan hanya sebagai teman, tetapi lebih dari itu. Aku ingin dia tahu betapa besar perasaan yang ada dalam diriku, meskipun aku hanya bisa mencintainya dalam diam.
Setiap kali dia tersenyum, hatiku berdebar lebih cepat. Setiap kali dia tertawa, aku merasa ikut bahagia, bahkan saat aku tidak tahu alasan pastinya. Raka tidak pernah tahu betapa aku ingin berada di sisinya lebih dari sekadar teman. Namun, aku takut. Takut jika perasaanku itu justru akan menghancurkan hubungan kami yang sudah terjalin begitu lama.
Hari demi hari, aku tetap menjaga jarak, meskipun hatiku semakin tertarik padanya. Tidak ada yang tahu, kecuali aku. Tidak ada yang mendengar, selain aku. Dalam diam, aku mencintainya.
Suatu malam, saat kami berdua berada di kafe favorit kami, Raka tampak lebih serius dari biasanya. Dia menatapku dengan tatapan yang berbeda, seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan. “Reina,” katanya, memanggilku dengan nada serius. “Aku… aku ingin bercerita sesuatu.”
Aku merasa ada sesuatu yang aneh, namun aku mencoba tetap tenang. “Apa itu, Rak?”
Dia menghela napas panjang, tampak ragu sejenak. “Aku… baru saja putus dari pacarku. Aku merasa hancur, dan aku nggak tahu harus berbuat apa.”
Aku terkejut mendengarnya. Aku tahu tentang hubungan Raka dan pacarnya, Mira. Mereka tampak bahagia bersama, dan aku tidak pernah membayangkan bahwa hubungan itu akan berakhir. Sejenak, aku merasa bingung antara ingin memberikan dukungan atau menyembunyikan perasaan yang baru saja tumbuh dalam diriku.

***

“Aku nggak tahu harus bagaimana, Reina. Aku merasa kosong,” kata Raka dengan suara yang penuh kelelahan.
Aku merasa hatiku perih mendengar kata-katanya. Aku ingin menghiburnya, memberinya sesuatu yang bisa mengurangi rasa sakitnya. Namun, aku tahu bahwa aku tidak bisa memberikan lebih dari sekadar dukungan sebagai teman.
“Rak, itu wajar. Kamu pasti bisa melalui ini. Kamu nggak sendirian,” jawabku, berusaha memberikan kata-kata yang menenangkan, meskipun dalam hatiku, aku merasa ingin mengatakan lebih banyak.
Aku melihat Raka menatapku dengan pandangan yang aneh. Seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan, namun dia menahannya. Aku mengalihkan pandanganku, berusaha menyembunyikan perasaan yang semakin sulit untuk dipendam.
“Makasih, Reina. Kamu selalu ada untuk aku,” kata Raka dengan suara yang lebih lembut, dan aku bisa melihat ada rasa terima kasih yang tulus di matanya.
Namun, dalam diamku, aku hanya bisa tersenyum, berusaha menahan perasaan yang semakin sulit aku sembunyikan. Aku mencintainya, tapi dia tidak akan pernah tahu. Rasa itu terlalu dalam untuk diungkapkan dengan kata-kata. Dan mungkin, aku lebih memilih untuk mencintainya dalam diam, daripada kehilangan persahabatan ini.

***

Beberapa bulan berlalu setelah peristiwa itu. Raka mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya setelah putus dengan Mira, dan meskipun aku merasa cemas, aku mencoba untuk tetap menjadi teman yang baik baginya. Namun, semakin lama, semakin sulit bagi aku untuk mengontrol perasaan ini. Setiap kali dia tersenyum padaku, hatiku terasa seperti dihantam ombak besar. Setiap kali dia berbicara dengan orang lain, aku merasa cemburu, meskipun aku tahu itu tidak seharusnya terjadi.

Suatu hari, Raka mengajakku untuk berjalan-jalan di taman kampus. Kami duduk di bangku yang biasa kami duduki, menikmati udara sore yang sejuk.
“Reina,” Raka memulai dengan suara yang serius, “Aku ingin berterima kasih. Aku tahu aku sering mengabaikanmu, tapi kamu selalu ada untukku. Aku nggak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa kamu.”
Aku menatapnya, mencoba menahan air mata yang hampir keluar. “Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan, Rak. Kamu teman terbaikku.”
Raka menatapku dengan tajam, seolah mencari sesuatu di mataku. “Aku tahu, tapi ada sesuatu yang lebih dari itu, Reina. Aku merasa… aku merasa bahwa aku mulai melihatmu dengan cara yang berbeda.”
Aku terdiam. Jantungku berdegup kencang, dan aku merasa seolah waktu berhenti sejenak. Apa yang dia katakan? Apa mungkin dia merasakan hal yang sama? “Apa maksudmu?” tanyaku, suaraku hampir berbisik.
Raka menghela napas, seolah berusaha menemukan kata-kata yang tepat. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi setiap kali aku dekat denganmu, aku merasa… ada sesuatu yang lebih, Reina. Aku merasa nyaman, dan aku merasa dihargai. Kamu adalah orang yang selalu ada untukku, dan aku ingin lebih dari itu.”
Aku terdiam, mataku mulai berkaca-kaca. Apakah ini yang aku tunggu-tunggu selama ini? Apakah perasaanku akhirnya akan terbalas?
“Raka…” aku akhirnya bisa berkata, suaraku hampir tidak terdengar. “Aku juga… mencintaimu.”
Raka tersenyum, dan kali ini senyumnya berbeda. Senyum yang penuh makna, senyum yang menunjukkan bahwa dia merasakan hal yang sama. Tanpa kata-kata lebih lanjut, dia menggenggam tanganku dengan lembut, dan di saat itu, aku merasa dunia berhenti berputar. Dalam diam, aku mencintainya, dan akhirnya, dia tahu itu.

10 komentar untuk “Dalam Diam, Aku Mencintaimu”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *