Luka yang Belum Sembuh

Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Nayla duduk dengan tatapan kosong. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang mulai dingin, sementara pikirannya melayang pada masa lalu yang terus menghantuinya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang resah.

“Maaf, aku terlambat,” suara berat itu membuatnya tersentak. Nayla mendongak dan melihat Alif, lelaki yang kini tengah berusaha masuk ke dalam hidupnya.

“Tidak apa-apa,” jawab Nayla singkat, berusaha tersenyum.

Alif duduk di depannya, meletakkan ponselnya di meja. Ia menatap Nayla dengan penuh perhatian. “Kamu terlihat lelah. Ada yang ingin kamu ceritakan?”

Nayla menggeleng. “Tidak ada apa-apa. Hanya lelah dengan pekerjaan.”

Namun, itu bukan sepenuhnya kebenaran. Nayla memang lelah, tetapi bukan karena pekerjaannya sebagai desainer grafis. Ia lelah karena hatinya terus-menerus dihantui rasa takut, rasa tidak percaya yang tumbuh dari luka lama yang belum sembuh.

***

Beberapa tahun sebelumnya, Nayla pernah menjalin hubungan dengan seseorang yang ia pikir akan menjadi teman seumur hidupnya. Namanya Dimas, seorang pria yang penuh perhatian dan selalu tahu cara membuat Nayla merasa istimewa. Hubungan mereka berjalan lancar selama dua tahun, hingga suatu hari Nayla menemukan sesuatu yang menghancurkan kepercayaannya.

Di ponsel Dimas, Nayla menemukan pesan-pesan dari wanita lain. Awalnya ia mencoba membuang pikiran buruk itu, meyakinkan dirinya bahwa itu hanya salah paham. Tetapi kenyataannya jauh lebih buruk dari yang ia bayangkan.

“Aku bisa menjelaskan,” kata Dimas ketika Nayla mengonfrontasinya.

Namun, penjelasan itu tidak pernah cukup. Pengkhianatan Dimas adalah pukulan telak bagi Nayla. Ia merasa bodoh karena begitu percaya, begitu menyerahkan hatinya, hanya untuk dikhianati.

Sejak saat itu, Nayla membangun tembok di sekeliling hatinya. Ia tidak ingin terluka lagi, tidak ingin percaya pada siapa pun, terutama pada cinta.

***

Alif datang ke dalam hidup Nayla secara tidak terduga. Mereka bertemu di sebuah acara workshop seni. Alif, dengan senyum hangat dan caranya yang tulus berbicara, perlahan menarik perhatian Nayla.

“Jadi, kamu suka seni digital?” tanya Alif saat itu.

Nayla mengangguk kecil. “Iya, aku suka bereksperimen dengan warna dan tekstur.”

Percakapan itu menjadi awal dari pertemanan mereka. Alif sering menghubungi Nayla, mengajaknya berdiskusi tentang seni, bahkan menawarkan bantuan saat Nayla menghadapi tantangan di pekerjaannya.

Namun, setiap kali Alif menunjukkan perhatian lebih, Nayla merasa cemas. Ia takut perhatian itu hanya sementara, hanya sebuah topeng seperti yang pernah ia alami sebelumnya.

***

Malam itu, di kafe, Alif mencoba mendekati Nayla dengan hati-hati. Ia tahu ada sesuatu yang membuat Nayla enggan membuka diri sepenuhnya, tetapi ia tidak ingin memaksanya.

“Nayla,” kata Alif pelan, “aku tahu mungkin kamu pernah terluka. Tapi aku ingin kamu tahu, aku di sini untukmu.”

Kata-kata itu membuat Nayla terdiam. Ia ingin percaya, tetapi hatinya berkata lain.

“Maaf, Alif,” kata Nayla akhirnya. “Aku hanya butuh waktu.”

Alif mengangguk. “Aku mengerti. Aku hanya berharap, suatu hari, kamu bisa percaya padaku.”

Namun, bahkan setelah percakapan itu, Nayla tetap merasa cemas. Setiap kali Alif terlambat membalas pesan atau tidak menjawab panggilannya, pikirannya langsung dipenuhi dengan kecurigaan.

“Dia pasti sedang bersama orang lain,” pikir Nayla, meskipun ia tahu tidak ada bukti untuk mendukung pikiran itu.

***

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam bersama, ponsel Alif berbunyi. Ia melihat layar sebentar, lalu meletakkan ponselnya kembali di meja tanpa menjawab.

“Kenapa tidak diangkat?” tanya Nayla, berusaha terdengar santai meskipun hatinya gelisah.

“Hanya teman,” jawab Alif singkat.

Jawaban itu membuat Nayla merasa tidak nyaman. Ia mencoba menahan diri, tetapi rasa takut dan curiga yang selama ini ia pendam akhirnya meledak.

“Teman apa? Kenapa tidak dijawab kalau cuma teman?” tanya Nayla dengan nada yang mulai meninggi.

Alif terkejut dengan reaksi Nayla. “Nayla, kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Aku tidak melakukan apa-apa.”

“Karena aku tidak tahu apa yang kamu lakukan!” seru Nayla. “Aku tidak tahu apakah aku bisa percaya padamu.”

Alif terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara pelan, “Nayla, aku bukan Dimas. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan padamu, tapi aku tidak pantas diperlakukan seperti ini.”

Kata-kata itu membuat Nayla tersentak. Ia menyadari bahwa luka lamanya telah membuatnya begitu defensif, begitu takut untuk percaya, hingga ia hampir menghancurkan hubungan yang sedang ia bangun.

***

Setelah malam itu, Nayla mulai merenung. Ia tahu masalahnya bukan pada Alif, tetapi pada dirinya sendiri. Luka dari masa lalunya membuatnya sulit untuk percaya, sulit untuk membuka diri sepenuhnya.

Dengan dorongan dari sahabatnya, Nayla memutuskan untuk mencoba terapi. Ia ingin menghadapi rasa sakitnya, bukan terus membiarkannya menghantui hidupnya.

Dalam sesi-sesi terapi itu, Nayla belajar bahwa kepercayaan adalah sesuatu yang harus dibangun perlahan-lahan. Ia juga belajar bahwa tidak semua orang akan menyakitinya, dan bahwa ia berhak untuk merasa bahagia lagi.

***

Beberapa minggu kemudian, Nayla menghubungi Alif. Mereka bertemu di taman, di mana mereka sering berjalan-jalan bersama.

“Maafkan aku,” kata Nayla saat mereka duduk di bangku taman. “Aku tahu aku terlalu banyak curiga. Aku hanya… takut terluka lagi.”

Alif tersenyum lembut. “Aku mengerti, Nayla. Aku tidak akan memaksamu untuk percaya padaku sepenuhnya sekarang. Tapi aku harap, kamu mau mencoba.”

Nayla mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku akan mencoba, Alif. Aku ingin percaya padamu.”

***

Hubungan Nayla dan Alif tidak berubah secara instan. Ada hari-hari di mana Nayla masih merasa ragu, tetapi ia berusaha untuk tidak membiarkan rasa takutnya menguasai dirinya.

Alif juga bersabar, memberikan ruang bagi Nayla untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Ia tahu bahwa membangun kepercayaan membutuhkan waktu, tetapi ia yakin Nayla adalah seseorang yang layak untuk diperjuangkan.

Seiring berjalannya waktu, Nayla mulai merasa lebih tenang. Ia belajar untuk menikmati saat-saat bersama Alif tanpa terus-menerus merasa cemas. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, ia merasa bahwa dirinya mampu membuka hati lagi.

***

Kisah Nayla adalah bukti bahwa luka dari masa lalu bisa memengaruhi masa depan, tetapi itu tidak berarti luka itu harus menentukan segalanya. Dengan usaha untuk sembuh dan keberanian untuk mencoba lagi, Nayla belajar bahwa kepercayaan adalah hadiah yang bisa diberikan, bukan hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada dirinya sendiri.

Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, Nayla menggenggam tangan Alif dengan erat.

“Aku percaya padamu,” bisiknya pelan.

Alif tersenyum dan membalas genggamannya. “Aku akan selalu ada di sini, Nayla.”

Dan malam itu, mereka memulai perjalanan baru, dengan cinta dan kepercayaan yang perlahan tumbuh di antara mereka.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *