Hujan sore itu turun dengan derasnya, membasahi setiap sudut kota kecil di pinggir pantai. Di sebuah halte tua yang hampir lapuk, Nayla berdiri dengan resah. Rambutnya yang tergerai basah kuyup, meskipun ia sudah mencoba berlindung di bawah payung kecil. Di sebelahnya, seorang pria yang tampak asing tetapi memancarkan kehangatan diam-diam memperhatikannya.
“Hujannya lebat sekali, ya,” kata pria itu mencoba membuka percakapan.
Nayla hanya mengangguk singkat. Ia tidak ingin berbicara dengan orang asing, terutama saat pikirannya sedang kacau. Hatinya masih terasa sesak setelah pertengkaran hebat dengan Arga, tunangannya, beberapa jam yang lalu.
Pria itu tersenyum, meskipun respons Nayla dingin. “Kota ini memang sering hujan sore-sore begini. Rasanya seperti ada jadwalnya.”
Ucapan itu membuat Nayla sedikit tersenyum, meskipun ia mencoba menyembunyikannya. Ada sesuatu yang menenangkan dari suara pria itu, seolah ia memahami apa yang Nayla rasakan.
“Kamu sering di sini?” tanya pria itu lagi.
“Tidak,” jawab Nayla singkat. “Hanya kebetulan lewat.”
Pria itu mengangguk. Ia tidak ingin memaksa Nayla untuk berbicara lebih banyak. Diam-diam, ia memperhatikan ekspresi Nayla yang terlihat lelah, seolah memikul beban berat.
***
Hujan terus turun tanpa tanda-tanda akan reda. Nayla mulai gelisah. Ia harus kembali ke rumah sebelum malam tiba, tetapi tidak ada taksi yang lewat. Pria itu tampaknya menyadari kegelisahan Nayla.
“Kalau kamu mau, aku bisa antar sampai tempat tujuan. Mobilku ada di seberang jalan,” tawarnya dengan sopan.
Nayla menatap pria itu dengan ragu. Meski ia biasanya tidak mudah percaya pada orang asing, ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merasa aman.
“Aku nggak bermaksud buruk, sumpah,” kata pria itu sambil tertawa kecil, mungkin menyadari keraguan Nayla. “Hanya ingin membantu.”
Setelah beberapa saat berpikir, Nayla akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku akan turun di jalan utama saja.”
Pria itu mengangguk setuju. Mereka berdua kemudian berlari menembus hujan menuju mobil pria itu, sebuah sedan tua yang terlihat terawat. Perjalanan di dalam mobil terasa canggung pada awalnya, tetapi pria itu mencoba mencairkan suasana dengan bercerita tentang dirinya.
“Namaku Radit, by the way. Aku baru pindah ke kota ini dua bulan lalu. Lagi adaptasi sama kebiasaan hujan setiap sore,” katanya sambil tersenyum.
Nayla hanya tersenyum kecil. “Aku Nayla.”
Percakapan mereka mulai mengalir. Radit bercerita tentang pekerjaannya sebagai seorang ilustrator lepas, sementara Nayla akhirnya menceritakan sedikit tentang dirinya dan bagaimana ia merasa terjebak dalam hubungan yang mulai terasa tidak sehat. Radit mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi atau memberi nasihat yang tidak diminta.
Ketika mereka sampai di jalan utama, Nayla merasa sedikit enggan untuk turun. Ada sesuatu yang membuatnya nyaman berada di dekat Radit, meskipun mereka baru saja bertemu.
“Terima kasih sudah mengantar,” kata Nayla sambil tersenyum tulus. “Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan kalau kamu nggak ada.”
Radit mengangguk. “Kapan saja butuh bantuan, aku selalu ada. Kalau semesta mengizinkan, kita pasti ketemu lagi.”
***
Hari-hari berikutnya, Nayla tidak bisa berhenti memikirkan Radit. Bukan karena ia tertarik secara romantis, tetapi karena percakapan mereka memberinya rasa tenang yang sudah lama hilang. Di sisi lain, hubungannya dengan Arga semakin memburuk. Arga yang awalnya penuh perhatian mulai berubah menjadi sosok yang egois dan sering meremehkan perasaan Nayla.
“Kamu itu terlalu sensitif,” ujar Arga suatu malam ketika Nayla mencoba membahas masalah mereka. “Aku sibuk kerja buat masa depan kita. Kenapa kamu nggak bisa lebih pengertian?”
Nayla hanya diam, menahan air mata. Ia merasa lelah terus-menerus dianggap salah. Dalam diamnya, ia kembali teringat pada Radit dan bagaimana pria itu mendengarkannya tanpa menghakimi.
Suatu sore, ketika hujan kembali turun, Nayla memutuskan untuk pergi ke halte tempat ia pertama kali bertemu Radit. Ia tidak tahu mengapa, tetapi hatinya berharap semesta akan mempertemukan mereka lagi.
Dan benar saja, Radit ada di sana, berdiri di bawah hujan dengan payung di tangannya. Ketika melihat Nayla, ia tersenyum hangat seolah sudah menunggu.
“Kita bertemu lagi,” katanya.
Nayla hanya bisa tersenyum. “Sepertinya semesta memang bekerja dengan caranya sendiri.”
Mereka berbicara panjang lebar sore itu. Nayla menceritakan semua yang ia rasakan, tentang rasa frustrasinya dengan Arga dan bagaimana ia merasa kehilangan dirinya sendiri. Radit mendengarkan dengan sabar, memberikan ruang bagi Nayla untuk mencurahkan isi hatinya.
“Kamu layak bahagia, Nay,” ujar Radit akhirnya. “Kalau hubungan itu membuatmu kehilangan dirimu sendiri, mungkin sudah saatnya kamu bertanya apakah itu yang benar-benar kamu inginkan.”
Kata-kata Radit menggema di kepala Nayla. Malam itu, ia merenung panjang, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang selama ini ia hindari.
***
Akhirnya, Nayla memutuskan untuk berbicara dengan Arga. Dengan suara gemetar, ia mengatakan bahwa ia merasa hubungan mereka tidak lagi sehat.
“Aku butuh waktu untuk diriku sendiri, Ga. Aku merasa kita sudah terlalu jauh berbeda,” kata Nayla dengan air mata mengalir di pipinya.
Arga terlihat terkejut, tetapi ia tidak mencoba membujuk Nayla untuk tetap bertahan. Mungkin dalam hatinya, ia juga tahu bahwa hubungan mereka sudah tidak bisa diselamatkan.
Hari-hari setelah perpisahan itu terasa berat bagi Nayla, tetapi ia merasa lega. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bebas untuk menjadi dirinya sendiri. Dan di tengah proses menyembuhkan diri, Radit tetap hadir sebagai teman yang selalu mendukung tanpa menuntut apa pun.
“Aku nggak tahu bagaimana jadinya kalau aku nggak ketemu kamu waktu itu,” kata Nayla suatu hari ketika mereka duduk bersama di sebuah kafe kecil.
Radit tersenyum. “Kadang, semesta punya cara aneh untuk mempertemukan orang-orang yang saling membutuhkan.”
***
Seiring berjalannya waktu, hubungan Nayla dan Radit berkembang. Awalnya, mereka hanya teman yang saling mendukung, tetapi perlahan, perasaan lain mulai tumbuh di antara mereka. Namun, Radit tidak pernah mencoba memaksakan perasaannya pada Nayla. Ia tahu bahwa Nayla masih dalam proses menyembuhkan luka hatinya.
“Kamu tahu, Radit,” kata Nayla suatu hari. “Kamu mengingatkanku pada hujan.”
“Hujan? Kenapa?” tanya Radit dengan penasaran.
“Karena hujan itu tenang, tetapi kuat. Kadang dingin, tetapi selalu membawa kehidupan. Seperti kamu,” jawab Nayla sambil tersenyum.
Radit terdiam, merasa tersentuh oleh kata-kata Nayla. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Nayla semakin dalam, tetapi ia juga tahu bahwa cinta yang sejati adalah tentang memberikan ruang dan waktu.
Pada akhirnya, Nayla menyadari bahwa Radit bukan hanya seseorang yang hadir di hidupnya, tetapi juga seseorang yang membuatnya merasa utuh. Di bawah hujan yang sama, di halte tua yang menjadi saksi pertemuan mereka, Nayla akhirnya berani mengungkapkan perasaannya.
“Radit, aku ingin kita selalu berada di bawah hujan yang sama. Apa pun yang terjadi, aku ingin kamu ada di sisiku,” kata Nayla dengan mata berkaca-kaca.
Radit tersenyum, lalu menggenggam tangan Nayla dengan lembut. “Aku juga, Nay. Selalu.”
Dan di bawah hujan yang terus turun, dua hati yang pernah terluka akhirnya menemukan rumahnya. Mereka tahu bahwa perjalanan masih panjang, tetapi selama mereka bersama, tidak ada badai yang tidak bisa mereka lewati.